Kamis, 13 Mei 2010

Tasawuf Pembebasan: Hikayat Kota yang Menyimpan Tongkat Musa

Kata Byzantium diambil dari nama pemimpin Megarians, Byzus yang berasal dari Megara, sebuah wilayah di dekat Athena. Pada 326 M, Kaisar Romawi, Constantine, memilih kota ini sebagai pusat kekuasaannya di timur dan mengubah Byzantium menjadi Constantinople, serta memperluas wilayah kota hingga melingkupi tujuh bukit di sekitarnya.

Constantine juga yang memulai pembangunan benteng raksasa yang mengelilingi pusat kekuasaannya di Istana Topkapi. Hingga hari ini reruntuhan benteng itu masih berdiri, melingkar dari Jalan Alemdar, lalu memotong Aya Sofia hingga ke ruas Jalan Kennedy, lalu ke arah Sarayburnu di utara.

Menurut Roger Crowley dalam buku 1453: the Holy war of Constantinople and the Clash of Islam and the West, keinginan Islam merebut Constantinople sama tuanya dengan usia agama yang lahir di jazirah Arab itu.

Pembawa ajaran Islam, Muhammad SAW pada 629 M mengirim sepucuk surat untuk Kaisar Heraclius di Constantinople. Dalam suratnya, Muhammad mengajak Heraclius meninggalkan paganisme (penyembahan berhala) dan mengimani satu Tuhan. Namun Heraclius memilih menolak seruan itu. Muhammad tak memaksa.

Pada masa selanjutnya, Islam berkembang luas dengan cepat. Pada era 630-an, Damaskus di Syria menjadi pusat kekhalifahan Islam yang dipimpin Dinasti Muawiyyah. Tahun berikutnya Islam diterima di Jerussalem, Mesir (641), dan Armenia (653). Dalam dua dekade selanjutnya seluruh Parsia mengakui Islam.

Pada 669, sekitar 40 tahun setelah Muhammad wafat, Muawiyyah mengirimkan pasukan ke Constantinople. Tahun selanjutnya, Muawiyyah menaklukan Dardanelles dan Tanjung Cyzcus, di selatan Constantinople. Sepanjang 670-an kapal-kapal perang Muawiyyah berlayar bolak-balik menyusuri Bosporus, dari Laut Hitam di utara ke Laut Marmawa di selatan, begitu seterusnya.

Di akhir dekade itu, Constantinople menembakkan berton-ton batu api ke arah kapal-kapal perang Muawiyyah. Serangan ini menghasilkan kerugian besar di pihak Muawiyyah. Tak ada jalan lain baginya, kecuali menarik pasukan dan, untuk sementara, menyimpan mimpi tentang Constantinople hingga ia wafat di tahun 679.

Keinginan Muawiyyah menaklukan Constantinople baru terlaksana 800 tahun kemudian. Senin, 29 May 1453, pasukan Ottoman dari Anatolia di yang dipimpin Fatih Mehmed II mendobrak pertahanan Constantinople. Pertarungan berjalan dengan sengit. Kedua belah pihak kehilangan ribuan tentara.

Setelah menaklukan Constantinople, Mehmed II yang kala itu baru berusia 21 tahun meminta agar pasukannya tak membantai warga kota serta tak merusak bangunan yang ada. Mehmed juga mengubah Katedral St. Sophia menjadi masjid, dan pada hari Jumat pertama, 2 Juni 1453, dia dan pasukannya menggelar shalat Jumat di tempat itu.

Di awal abad ke-17, Sultan Ahmet I mendirikan Majid Biru di seberang Aya Sofia. Tak seperti Aya Sofia yang memiliki empat menara, Masjid Biru memiliki enam menara dan 36 kubah kecil di sekitar kubah induk. Dan Aya Sofia sejak itu menjadi museum.

Lukisan-lukisan kramik peninggalan Katholik di dinding dan di langit-langit St. Sophia masih dapat disaksikan hingga kini. Untuk memberi nuansa Islam, Ottoman memasang tujuh kaligrafi besar di ruang utama, yang masing-masing bertuliskan nama Muhammad, empat khalifah pertama, Abu Bakar, Umar, Usman dan Ali, serta dua cucu Muhammad, Hassan dan Hussein.

Seperti Romawi, Ottoman juga menjadikan Topkapi sebagai pusat pemerintahan dan tempat tinggal Sultan, sebelum akhirnya dipindahkan ke Istana Dolmabache.

Dan kini, setelah menjadi museum pada 1924, di Topkapi dapat ditemukan berbagai benda yang berhubungan dengan perkembangan agama Islam. Bahkan, jenggot, pedang dan cetakan telapak Nabi Muhammad pun ada. Juga tongkat yang (kemungkinan) digunakan Nabi Musa untuk membelah Laut Merah saat dia melarikan diri dari Mesir bersama ribuan orang Yahudi ke Israel, hampir 4.000 tahun lalu. [t] Rakyat Merdeka, 29 November 2005

Tidak ada komentar:

Posting Komentar